Tuesday, April 1, 2014

SULTAN AGENG TIRTAYASA

AGENG TIRTAYASA DARI BANTEN

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 – 1683) adalah putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.
Riwayat Perjuangan[sunting | sunting sumber]

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.
Silsilah Sultan Ageng Tirtayasa[sunting | sunting sumber]

.Sultan Ageng Tirtayasa @ Sultan 'Abdul Fathi Abdul Fattah bin
.Sultan Abul Ma'ali bin
.Sultan Abul Mafakhir bin
.Sultan Maulana Muhammad Nashruddin bin
.Sultan Maulana Yusuf bin
.Sultan Maulana Hasanuddin bin
.Sultan Syarif Hidayatullah @ Sunan Gunung Jati Cirebon




Sultan Ageng Tirtayasa, Perjuangan Tanpa Akhir demi Terbebasnya Banten
 “Bangsa yang besar ialah bangsa yang mengenal perjuangan para pahlawannya”

Baru beberapa hari yang lalu kita, kaum muda memperingati Hari Sumpah Pemuda. Hari yang mudah-mudahan masih bukan sekedar diperingati, tapi juga menjadi momentum penyemangat tiap tahunnya bagi kita kaum muda untuk terus berkarya bagi bangsa ini. Perjuangan kita saat ini memang bukanlah mengangkat bambu runcing dan melawan para penjajah, perjuangan untuk berkarya bagi bangsa itulah perjuangan kita saat ini dan untuk tetap bertahan dari gempuran “penjajahan modern” bernama globalisasi dan kapitalisme yang terus merajalela.

Untuk menambah semangat juang kita, tak ada salahnya untuk mengingat kembali perjuangan para pahlawan kita di masa penjajahan dahulu. Perjuangan para pahlawan hendaknya terus diingat, diteladani dan terus diceritakan bagi generasi penerus. Terkadang sedih hati ini bila saya bertanya pada adik saya tentang para pahlawan, hanya sedikit saja yang diketahui namanya apalagi perjuangannya. Jangankan adik saya, mungkin kita-kita yang sudah dewasa dan bahkan pernah mendapat pelajaran sejarah hingga bangku SMA pun bila ditanya mengenai pahlawan nasional, hanya beberapa saja yang kita ingat.

Sebenarnya banyak cerita pahlawan yang menarik, tapi sebagai orang Banten maka tentunya saya akan membahas tentang Sultan Ageng Tirtayasa. Bagi orang Banten tentu nama pahlawan yang satu ini sangat dikenal. Bahkan namanya menjadi nama salah satu universitas negeri di Kota Serang. Tapi mungkin banyak yang belum mengetahui bagaimana perjuangan kisah pahlawan Banten yang satu ini.

Sultan Ageng Tirtayasa, merupakan penguasa Banten yang terkenal cakap dalam menjalankan pemerintahan di Banten pada sekitar tahun 1651-1683. Dalam masa pemerintahannya, Banten mengalami masa kejayaan terutama dalam bidang perdagangan dan penyebaran agama Islam.

Peran Sultan Ageng Tirtayasa dalam Mengembangkan Perdagangan Banten

Dalam pengembangan bidang perdagangan, beliau sejak masih dalam usia muda dan bergelar Sultan Abdul Fathi telah mengamati bahwa adanya VOC di Batavia suatu saat akan membahayakan Banten dalam bidang perdagangan. Praktek monopoli perdagangan yang dilakukan VOC akan merugikan perekonomian Banten, hal ini disebabkan para pedagang yang akan berlayar ke pelabuhan Banten harus singgah dulu di Batavia. Untuk mengatasi hal ini, Sultan Ageng Tirtayasa mengeluarkan sejumlah kebijakan, yakni memperluas wilayah perdagangan dengan memperluas daerah kekuasaan dan mengusir Belanda dari Batavia.

Berkat kebijakan itu, Banten menjadi kota pelabuhan dan perdagangan yang amat penting di Selat Malaka, dibandingkan Batavia. VOC yang tidak menyukai hal ini kemudian melakukan blokade perdagangan dengan Banten. Hingga akhirnya setelah tiga tahun lamanya, dan dampak blokade makin terasa akhirnya Banten terpaksa menyatakan pengakuan atas hak-hak Belanda dan perdagangan Banten pun dibatasi. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena beberapa bulan setelahnya Sultan Ageng Tirtayasa kembali membuka Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Peran Sultan Ageng Tirtayasa dalam Penyebaran Agama Islam

Di saat yang bersamaan, Sultan Ageng Tirtayasa pun menginginkan Banten menjadi Kerajaan Islam terbesar di Indonesia. Beliau menaruh perhatian yang sangat besar dalam bidang agama. Salah satunya ialah dengan mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan permasalahan agama dan penjadi penasihat sultan di kerajaan. Selain itu, beliau juga meningkatkan pendidikan agama baik di lingkungan kerajaan maupun rakyatnya dengan mendirikan berbagai pondok pesantren. Agama Islam pun berkembang pesat disertai dengan pembangunan berbagai sarana beribadah seperti mushala dan masjid.

Konflik Perebutan Kekuasaan Kerajaan Banten

Sultan Ageng Tirtayasa dikaruniai dua putra, yakni Pangeran Gusti dan Pangeran Purbaya. Awal mula perebutan kekuasaan Kerajaan Banten bermula setelah kepulangan Pangerang Gusti dari Mekah. Kepergian Pangeran Gusti atau lebih dikenal dengan Sultan Haji ke Mekah sebenarnya dimaksudkan agar Pangerang Gusti dapat melihat perkembangan agama Islam di berbagai negara dan menyebarkan wawasan dan pengetahuan agama Islam-nya di bumi Banten. Selama kepergian Pangeran Gusti, tugas-tugas pemerintahan untuk sementara diserahkan pada Pangeran Purbaya setelah Sultan Ageng Tirtayasa mengundurkan diri.

Setelah kepulangan Sultan Haji dari Mekah dia melihat peranan adiknya yang lebih besar di bidang pemerintahan. Hal ini memicu pertikaian antara Sultan Haji dengan Pangeran Purbaya dan Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak konflik ini muncul, Sultan Ageng Tirtayasa sering pergi ke dusun Tirtayasa, dan bahkan mendirikan keraton baru. Dusun Tirtayasa sebenarnya merupakan awal mula julukan Sultan Ageng Tirtayasa tersebut, pada mulanya beliau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Abdul Fathi.

Pembumihangusan Keraton dan Asa yang belum Habis

Masalah internal dalam kerajaan Banten ini tentunya tidak luput dari pengamatan Belanda yang masih mncari celah untuk melemahkan kerajaan Banten. Belanda kemudian mendekati Sultan Haji dan mengadu-domba dirinya dengan ayahnya. Belanda memanas-manasi Sultan Haji bahwa ayahnya kelak akan mngangkat Pangeran Purbaya sebagai Sultan, bukan dirinya. Akibatnya, Sultan Haji pun melakukan perjanjian dengan Belanda dan mengkudeta ayahnya dari tahta kesultanan tahun 1681.

Sementara itu, setelah penggulingan kekuasaan tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa tidak lantas berdiam diri. Beliau langsung menyusun kekuatan bersenjata guna mengepung Sultan Haji di Sorosowan (Banten). Karena terus terdesak akhirnya Sultan Haji meminta bantuan Belanda.

Dipimpin Kapiten Tack dan de Saint Martin, Belanda juga menyerang benteng Tirtayasa dan dapat menaklukkannya meski menderita kerugian besar. Akan tetapi sebelum Belanda memasuki benteng tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa sempat terlebih dulu membakar seluruh isi benteng dan lantas melarikan diri bersama Pangeran Purbaya dan pengikutnya. Walau pertahanan terakhir Sultan Ageng sudah jatuh, namun Belanda tidak otomatis dapat memadamkan perlawanan rakyat Banten.

Perang Gerilya dari Hutan Kranggan dan Adu Domba Belanda

Meski kratonnya telah terbakar hangus, namun Sultan Ageng Tirtayasa tidak menghentikan perlawanannya sama sekali. Beliau masih memimpin perlawanan secara gerilya dari dalam hutan Kranggan bersama para pengikutnya. Sultan Haji yang makin terdesak dan melakukan tipu-muslihat bersama Belanda dengan meminta Sultan Ageng Tirtaya untuk kembali ke keraton. Tanpa kecurigaan sedikit pun, beliau akhirnya kembali ke keraton, namun setibanya disana beliau ditangkap oleh Belanda. Akibat pengkhianatan yang dilakukan putranya itu pula, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan kemudian dijebloskan ke penjara di Jakarta. Akhirnya pada tahun 1682, Sultan Ageng Tirtayasa meninggal dunia dan sebelum kematiannya beliau meminta untuk dimakamkan di samping makam Para Sultan di Masjid Agung.

Demikianlah kisah singkat dari Sultan Ageng Tirtayasa. Mudah-mudahan bisa menjadi pengingat dan pemacu semangat kita dalam berkarya. Ingatlah perjuangan beliau yang bahkan tetap tidak mau menyerahkan Banten kepada kompeni Belanda hingga meski beliau telah terdesak dan terpaksa membumihanguskan keratonnya. Beliau tetap melanjutkan perlawanan secara gerilya dari hutan Kranggan. Perjuangan beliau tidak kenal lelah dan tidak rela bila tanah Banten dikuasai penjajah.

Beliau pun ialah pemimpin yang selain memperhatikan aspek perdagangan juga turut memperhatikan penyebaran agama Islam di tanah Banten. Sehingga pada masa kejayaannya, Banten menjadi kota pelabuhan dan perdagangan penting di Selat Malaka serta menjadi pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa khususnya Banten.

Meski diakhir perjuangannya, beliau tertangkap atas tipu-muslihat Sultan Haji dan Belanda, namun hal itu bukanlah karena dia menyerah secara sukarela. Beliau menyerah karena memang dijebak. Dijebak oleh pengkhianatan putranya sendiri. Mungkin dalam lubuk hati Sultan Ageng Tirtayasa, beliau masih ingin berbaikan dengan putranya dan memaafkan segala kesalahan putranya itu dengan tulus meski di akhir perjuangannya, putranya pula yang akhirnya mengakhiri perjuangan beliau.

Masih banyak kisah pahlawan Banten lainnya, yang mungkin dalam kesempatan lain akan saya kisahkan. Semoga menjadi inspirasi bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk tidak mengenal kata menyerah dalam berkarya. Akhir perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa hendaknya menjadi pengingat untuk terus bersikap waspada dan menyaring segala arus informasi yang bertebaran di sekitar kita. Tidak semua informasi harus diterima, tetapi harus disaring sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan kita.



Tetap semangat berkarya, teladani kisah para pahlawan jadikan semangat baru bagi kita dalam menjalani lika-liku kehidupan ini ! Jangan Mudah Menyerah!

No comments:

Post a Comment