KESULTANAN BANTEN
Takluknya Prabu Pucuk Umun di Wahanten Girang (Banten Girang) pada tahun
1525 selanjutnya menjadi tonggak dimulainya era Banten sebagai kerajaan Islam
dengan dipindahkannya pusat pemerintahan Banten dari daerah pedalaman ke daerah
pesisir pada tanggal 1 Muharam tahun 933 Hijriah yang bertepatan dengan tanggal
8 Oktober 1526 (Michrob dan Chudari, 1993:61). Atas pemahaman geo-politik yang
mendalam Sunan Gunung Jati menentukan posisi istana, benteng, pasar, dan
alun-alun yang harus dibangun di dekat kuala Sungai Banten yang kemudian diberi
nama Surosowan. Hanya dalam waktu 26 tahun, Banten menjadi semakin besar dan
maju, dan pada tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten
diubah menjadi negara bagian Demak dengan dinobatkannya Hasanuddin sebagai raja
di Kesultanan Banten dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan (Pudjiastuti,2000:61).
Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de
Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di Jawa, sejajar dengan Malaka. Kota
Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga mil.
Kota itu panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa; masuk
ke dalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai yang
jernih, di mana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk.
Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang
Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di
Banten dan disusul oleh orang Belanda. Selain itu, orang-orang Perancis dan
Denmark pun pernah datang di Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa
ini, Belanda muncul sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari Banten
(1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan
Banten. Orang Inggris pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684)
akibat tindakan orang Belanda (Ekadjati (ed.),1984:97). Wujud dari interaksi
budaya dan keterbukaan masyarakat Banten tempo dulu dapat dilihat dari
berkembangnya perkampungan penduduk yang berasal dari berbagai daerah di
Nusantara seperti Melayu, Ternate, Banjar, Banda, Bugis, Makassar, dan dari
jawa sendiri serta berbagai bangsa dari luar Nusantara seperti Pegu (Birma),
Siam, Parsi, Arab, Turki, Bengali,dan Cina (Leur, 1960:133-134; Tjiptoatmodjo,
1983:64). Setidaknya inilah fakta sejarah yang turut memberikan kontribusi bagi
kebesaran dan kejayaan Banten.
Dalam usahanya membangun Banten, Maulana Hasanuddin sebagai Sultan
Banten pertama (1522-1570), menitikberatkan pada pengembangan sektor
perdagangan dengan lada sebagai komoditas utama yang diambil dari daerah Banten
sendiri serta daerah lain di wilayah kekuasaan Banten, yaitu Jayakarta,
Lampung, dan terjauh yaitu dari Bengkulu (Tjandrasasmita,1975:323). Perluasan
pengaruh juga menjadi perhatian Sultan Hasanuddin melalui pengiriman ekspedisi
ke pedalaman dan pelabuhan-pelabuahn lain. Sunda Kalapa sebagai salah satu
pelabuhan terbesar berhasil ditaklukkan pada tahun 1527 dan takluknya Sunda
Kalapa tersebut ditandai dengan penggantian nama Sunda Kalapa menjadi
“Jayakarta”. Dengan takluknya Jayakarta, Banten memegang peranan strategis
dalam perdagangan lada yang sekaligus menggagalkan usaha Portugis di bawah
pimpinan Henrique de Leme dalam usahanya menjalin kerjasama dengan Raja Sunda
(Kartodirdjo, 1992:33-34). Pasca wafatnya Maulana Hasanuddin, pemerintahan
dilanjutkan oleh Maulana Yusuf (1570-1580), putra pertamanya dari Ratu Ayu
Kirana, putri Sultan Demak.
Pelabuhan Banten yang semula diblokade VOC perlahan namun pasti mulai
pulih ketika Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menarik perdagangan bangsa Eropa
lainnya, seperti Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis yang notabene
merupakan pesaing berat VOC. Strategi ini bukan hanya berhasil memulihkan
perdagangan Banten namun sekaligus memecah konflik politik menjadi persaingan
perdagangan antar bangsa-bangsa Eropa. Selain mengembangkan perdagangan, Sultan
Ageng Tirtayasa gigih berupaya juga untuk memperluas pengaruh dan kekuasaan ke
wilayah Priangan, Cirebon, dan sekitar Batavia guna mencegah perluasan wilayah
kekuasaan Mataram yang telah masuk sejak awal abad ke-17. Selain itu, juga
untuk mencegah pemaksaan monopoli perdagangan VOC yang tujuan akhirnya adalah
penguasaan secara politik terhadap Banten (Kartodirdjo,
1988:113-115,150-154,204-209). VOC yang mulai terancam oleh pengaruh Sultan
Ageng Tirtayasa yang makin luas pada tahun 1655 mengusulkan kepada Sultan
Banten agar melakukan pembaruan perjanjian yang sudah hampir 10 tahun dibuat
oleh kakeknya pada tahun 1645. Akan tetapi, Sultan dengan tegas bersikap tidak
merasa pelu memperbaruinya selama pihak Kompeni ingin menang sendiri.
Meskipun disibukkan dengan urusan konflik dengan VOC, Sultan tetap
melakukan upaya-upaya pembangunan dengan membuat saluran air untuk kepentingan
irigasi sekaligus memudahkan transportasi dalam peperangan. Upaya itu berarti
pula meningkatkan produksi pertanian yang erat hubungannya dengan kesejahteraan
rakyat serta untuk kepentingan logistik jika mengadapi peperangan. Karena
Sultan banyak mengusahakan pengairan dengan melaksanakan penggalian
saluran-saluran menghubungkan sungai-sungai yang membentang sepanjang pesisir
utara, maka atas jasa-jasanya ia digelari Sultan Ageng Tirtayasa
(Tjandrasasmita, 1995:116). Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang
politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan
bangsa-bangsa lain semakin ditingkatkan. Pelabuhan Banten makin ramai
dikunjungi para pedaganga asing dari Persia, India, Arab, Cina, Jepang,
Filipina, Malayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari
Eropa yang bersahabat, dengan Inggris, Prancis, Denmark, dan Turki.
Dengan ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 April 1684 antara
Kesultanan Banten yang diwakili oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat,
Kiai Suko Tajuddin, Pangeran Natanagara, dan Pangeran Natawijaya, dengan
Belanda yang diwakili oleh Komandan dan Presiden Komisi Francois Tack, Kapten
Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuer, serta kapten bangsa melayu
Wan Abdul Bagus, maka lenyaplah kejayaan dan kemajuan Kesultanan Banten, karena
ditelan monopoli dan penjajahan Kompeni, akibat perjanjian ini Kesultanan
Banten diambang keruntuhan. Selangkah demi selangkah Kompeni mulai menguasai
Kesultanan Banten. Benteng Kompeni mulai didirikan pada tahun 1684-1685 di
bekas benteng kesultanan yang dihancurkan, dan benteng ini dirancang oleh
seorang arsitektur yang sudah masuk Islam dan menjadi anggota kesultanan yang
bernama Hendrick Lucaszoon Cardeel.
Benteng yang didirikan itu diberi nama Speelwijk, untuk memperingati
kepada Gubernur Jenderal Speelma. Dengan demikian, praktis Banten sebagai pusat
kekuasaan dan kesultanan telah pudar. Demikian pula peran Banten sebagai pusat
perniagaan antarbangsa telah tertutup. Tidak ada lagi kebebasan melaksanakan
perdagangan (Tjandrasasmita, 1995:118) Penderitaan rakyat semakin berat bukan
saja karena pembersihan atas pengikut Sultan Ageng Tirtayasa serta pajak yang
tinggi, selain karena sultan harus membayar biaya perang, juga karena monopoli
perdagangan Kompeni. Rakyat dipaksa untuk menjual hasil pertaniannya, terutama
lada dan cengkeh, kepada Kompeni melalui pegawai kesultanan yang ditunjuk,
dengan harga yang sangat rendah. Raja seolah-olah hanya sebagai pegawai Kompeni
dalam hal pengumpulan lada dari rakyat. Pedagang-pedagang Inggris, Francis, dan
Denmark, karena banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam perang yang lalu,
diusir dari Banten.
Kerusuhan demi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang
bergejolak selama pemerintahan Sultan Haji. Perampokan dan pembunuhan terhadap
para pedagang dan patroli Kompeni, baik di luar kota maupun di dalam kota,
kerap terjadi dimana-mana. Bahkan pernah terjadi pembakaran yang mengabiskan
2/3 bangunan di dalam kota. Ketidakamanan pun terjadi di lautan, banyak kapal
Kompeni yang dibajak oleh “bajak negara” yang bersembunyi di sekitar perairan
Bojonegara sekarang. Sebagian besar rakyat tidak mengakui Sultan Haji sebagai
Sultan. Oleh sebab itu, kehidupan Sultan Haji selalu berada dalam kegelisahan
dan ketakutan. Bagaimanapun penyesalannya terhadap perlakuan buruknya terhadap
ayah, saudara, sahabat, dan prajurit-prajuritnya yang setia selalu ada. Akan
tetapi, semuanya sudah terlanjur.
Pada saat itu di Banten terdapat tiga buah pasar yang ramai. Yang
pertama terletak disebelah timur kota (Karangantu), disana banyak pedagang
asing dari Portugis, Arab, Turki, India, Pegu (Birma), Melayu, Benggala,
Gujarat, Malabar, Abesinia dan pedagang dari Nusantara. Mereka berdagang sampai
pukul sembilan pagi. Pasar kedua terletak di alun-alun kota dekat masjid agung.
Pasar ini dibuka sampai tengah hari bahkan hingga sore hari. Di pasar ini
diperdagangkan merica, buah-buahan, senjata, tombak, pisau, meriam kecil, kayu
cendana, tekstil, kain, hewan peliharaan, hewan ternak, dan pedagang Cina
menjual benang sulam, sutera, damas, beludru, satin, perhiasan emas dan
porselen. Pasar ketiga berada di daerah Pecinan, yang dibuka hingga sampai
malam hari.
Dari pernikahannya dengan puteri Sultan Trenggano yang bernama Pangeran
Ratu atau Ratu Ayu Kirana (Pada Tahun 1526), Sultan Hasanudin memiliki putera/i
sebagai berikut : Ratu Pembayun (menikah dengan Ratu Bagus Angke putera dari ki
mas Wisesa Adimarta, yang selanjutnya mereka menetap di Jayakarta), Pangeran
Yusuf, Pangeran Arya, Pangeran Sunyararas, Pangeran Pajajaran, Pangeran
Pringgalaya, Ratu Agung atau Ratu Kumadaragi, Pangeran Molana Magrib dan Ratu
Ayu Arsanengah. Sedang dari istri yang lainnya, Sultan Hasanudi memiliki
putera/i sebagi berikut : Pangeran Wahas, Pangeran Lor, Ratu Rara, Ratu Keben,
Ratu Terpenter, Ratu Wetan dan Ratu Biru.
Perkampungan untuk orang asing biasanya ditempatkan diluar tembok kota.
seperti Kampung Pakojan terletak disebelah barat pasar Karangantu, untuk para
pedagang dari Timur Tengah, Pecinan terletak disebalh barat Masjid Agung, untuk
para pedagang dari Cina.Kampung Panjunan (Untuk para Tukang Belanga, gerabah,
periuk dsb), Kampung Kepandean (Untuk tukang Pandai besi), Kampung Pangukiran
(Untuk Tukang Ukir), Kampung Pagongan (Untuk tukang gong), Kampung Sukadiri
(Untuk para pembuat senjata). Demikian pula untuk golongan sosial tertentu,
misalkan Kademangan (untuk para demang), Kefakihan (Untuk para ahli Fiqih),
Kesatrian (Untuk para Satria, perwira, Senopatai dan prajurit istana).
Dari permaisuri Ratu Hadijah,Maulana Yusuf mempunyai dua orang anak yaitu
Ratu Winaon dan Pangeran Muhammad.Sedangkan dari istri-istri lainnya,baginda
dikaruniai anak antara lain angeran
Upapati,Pangeran Dikara,Pangeran Mandalika atau Pangeran Padalina,Pangeran Aria
Ranamanggala,Pangeran Mandura,Pangeran Seminingrat,Pangeran Dikara ,Ratu Demang
atau Ratu Demak,Ratu Pacatanda atau Ratu Mancatanda,Ratu Rangga,Ratu Manis,Ratu
Wiyos dan Ratu Balimbing
Abul Mafakhir dinobatkan sebagai sultan ketika berusia 5 Bulan, sehingga
untuk melaksanakan roda pemerintahan ditunjuklah Mangkubumi Jayanagara sebagai
wali. Mangkubumu Jayanagara adalah juga yang pernah menjadi Mangkubumi bagi
Maulana Muhammad, sehingga kesetiannya pada Kesultanan Banten tidaklah
diragukan lagi. Mangkubumi ini adalah seorang tua yang lemah lembut dan luas
pengalamannya pada bidang pemerintahan. Selain Mangkubumi ditunjuk pula seorang
wanita tua yang bijaksana sebagai pengasuh Sultan, yang bernama Nyai Embun
Rangkun. Mangkubumi Jayanagara mangkat, setelah 6 Tahun (1602) menjadi
Mangkubumi bagi Sultan Abul Mafakhir, dan jabatan Mangkubumi diserahkan kepada
adiknya. Namun pada tanggal 17 Nopember 1602 dia dipecat karena kelakuanya
dinilai tidak baik. Karena perpecahan dan irihati para pangeran, maka diputuskan
untuk tidak mengangkat mangkubumi baru, dan untuk perwalian sultan diserahkan
kepada ibunda sultan Nyai Gede Wanagiri.Tidak lama kemudian ibunda sultan
menikah dengan seorang bangsawan keluarga istana. dan atas desakannya pula,
suaminya ini diangkat sebagai mangkubumi. Namun mangkubumi yang baru ini tidak
memiliki wibawa, bahkan sering menerima suap dari pedagang-pedagang asing.
Sehingga banyak peraturan yang tidak dapat diterapkan di Banten. Situasi ini
menimbulkan rasa tidak puas dari sebagian pejabat istana yang akhirnya
menimbulkan kerusuhan dan kekacauan. Bahkan diantara para pangeran pun terjadi
perselisihan, sebagian lebih condong kepada para pedagang dari Portugis, sedang
yang lainnya lebih condong ke Belanda. Sedangkan antara Belanda da Portugis saat
itu sedang bermusuhan. wajar bila pertentangan ini mengakibatkan banyak
kekacauan.
Sultan Abul Mafakhir mempunyai putera : Pangeran Pekik (Sultan Abul
Maa’li Akhmad) yang wafat setelah peristiwa Pagarage (1650),makamnya terletak
di desa Kanari. Ratu Dewi, Ratu Mirah, Ratu Ayu, dan Pangeran Banten. Sultan
Abul Maa’li Akhmad (dari perkawinannya dengan Ratu Marta Kusumah puteri
Pangeran Jayakarta) memiliki putera : Ratu Kulon, Pangeran Surya, Pangeran Arya
Kulon, Pangeran Lor dan pangeran Raja. Dari perkawinannya dengan Ratu Aminah
(Ratu Wetan) Sultan memiliki putera: Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu
Inten, dan Ratu Tinumpuk. Sedangkan dari isterinya yang lain, sultan memiliki
putera : Ratu Petenggak, Ratu Wijil, Ratu Pusmita, Pangeran Arya Dipanegara
(Tubagus Abdussalam/Pangeran Raksanagara), Pangeran Arya Dikusuma(Tubagus
Abdurahman/Pangeran Singandaru)
Selain itu Sultan pun tidak setuju dengan pendudukan bangsa Asing atas
negaranya, dan untuk memperkuat pertahanan (terutama dari serbuan Belanda di
Batavia), sultan memperkuat pasukanya di Tangerang yang telah menjadi benteng
pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan Belanda. Dari tangerang ini
pulalah pada tahun 1652 Banten menyerbu Batavia. Melihat situasi yang semakin
memanas, pihak kompeni mengajukan usul perdamaian. Namun sultan bertekad untuk
menghapuskan para penjajah di bumi Nusantara, sultan melihat berbagai
kecurangan pada setiap perjanjian yang diajukan oleh pihak Belanda, sehingga
Sultan pun menolaknya. Pada tahun 1656 pasukan Banten yang bermarkas di Angke
dan Tangerang melakukan gerilya besar-besaran. Perusakan dan sabotase yang
dilakukan para prajurit Banten banyak merugikan pihak Kompeni. Untuk menghadapi
serangan Belanda yang lebih besar, Sultan mempernaiki hubungan dengan Cirebon
dana Mataram, bahkan dari Inggris, Prancis dan Denmark, Sultan mendapat
kemudahan memperoleh senjata api untuk peperangan. Daerah kekuasaan Banten
(Lampung, Bangka, Solebar, Indragiri dan daerah lainnya) diminta mengirimkan
prajuritnya untuk bergabung dengan para prajurit yang berada di Surosowan.
Rakyatpun mendukung langkah Sultan untuk mengusir Penjajah. Mereka bertekad
lebih baik mati daripada berdamai dnegan penjajah. Sedangkan kompeni mempekuat
pasukkannya dengan prajurit-prajurit sewaan yang berasal dari Kalasi, ternate,
Bandan, kejawan, Melayu, Bali, Makasar dan Bugis.
No comments:
Post a Comment