Tuesday, April 1, 2014

STRUKTUR PEMERINTAHAN PROVINSI BANTEN

Pemerintahan Umum

A.  Kelembagaan dan Ketatalaksanaan Pemerintahan
Pencapaian pembangunan kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan pada periode 2002-2006 bertitik tolak dari penetapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Provinsi Banten (17 Oktober 2001). Pembentukan pondasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah diawali dengan terbentuknya DPRD Provinsi Banten, dan selanjutnya melalui proses pemilihan di lingkungan DPRD Provinsi Banten ditetapkan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten untuk memimpin jalannya pemerintahan. Dalam membantu Gubernur untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, ditetapkan perangkat daerah yang terdiri dari Sekretariat Daerah (11 Biro), Sekretariat DPRD, 7 Badan, 12 Dinas dan 4 Kantor, dimana legalitas atas kedudukan serta tugas pokok dan fungsinya diatur dalam peraturan daerah serta surat keputusan Gubernur Banten. Dalam rangka meningkatkan kapasitas pelayanan publik, pada tahun 2006 Pemerintah Provinsi Banten membentuk Lembaga Pemerintah Teknis Daerah (LPTD) Rumah Sakit Malingping.

Dalam implementasinya, beberapa permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi seluruh perangkat daerah periode 2002-2006 antara lain seperti belum efektifnya penetapan struktur kelembagaan perangkat daerah, masih dirasakannya tumpang tindih tugas pokok dan fungsi antar perangkat daerah, belum optimalnya penetapan dan pemilahan tugas pokok dan fungsi perangkat daerah berdasarkan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta belum optimalnya hubungan kerja antar lembaga, termasuk antara pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, masyarakat, dan organisasi non pemerintah.

Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang sebelumnya didasarkan atas kewenangan provinsi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, mengalami penyesuaian seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Sedangkan permasalahan yang dihadapi adalah kewenangan daerah masih banyak yang belum didesentralisasikan karena peraturan dan perundangan sektoral yang masih belum disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Hal ini mengakibatkan berbagai kendala antara lain dalam hal pelaksanaan kewenangan, pengelolaan APBD, pengelolaan suatu kawasan atau pelayanan tertentu, serta pengaturan pembagian hasil sumberdaya alam dan pajak, dan lainnya. Selain itu terjadinya tumpang tindih kewenangan antar pusat, provinsi dan kabupaten/kota daerah mengakibatkan berbagai permasalahan dan konflik antar berbagai pihak dalam pelaksanaan suatu aturan, seperti pendidikan, tenaga kerja, pekerjaan umum, pertanahan, penanaman modal, serta kehutanan dan pertambangan.

B.  Prasarana dan Sarana Pemerintah Daerah
Pencapaian pembangunan prasarana dan sarana pemerintahan daerah antara lain ditunjukkan dengan realisasi perencanaan dan pembangunan Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B). Selama periode 2002-2006, telah tersusun Amdal KP3B, Masterplan KP3B, RTRK P3B, serta 8 (delapan) dokumen DED gedung kantor perangkat daerah. Disamping itu, realisasi fisik KP3B hingga tahun 2006 telah menyelesaikan 100% fisik bangunan gedung DPRD Provinsi Banten, BAPEDA, Dinas Kesehatan, Dinas Pendapatan, BAWASDA, Gedung KONI, PIB, Kantor Biro Pusat Statistik, Kantor Wilayah Departemen Agama

Dengan demikian, pembangunan KP3B sebagai agenda yang direncanakan dalam kurun waktu 2002-2006 sebagaimana tertuang dalam Renstra Provinsi Banten 2002-2006 belum dapat terpenuhi. Sebagian besar pelaksanaan tugas dan fungsi perangkat daerah juga masih diselenggarakan pada bangunan-bangunan yang berstatus sewa, dengan kapasitas ruang yang tidak memadai dengan keberadaan pegawai, sehingga mengurangi efektifitas dan kenyamanan kerja. Sementara itu, berdasarkan informasi dari berbagai perangkat daerah, dukungan sarana dalam menunjang pelaksanaan operasional kantor maupun operasional lapangan belum sepenuhnya terpenuhi.

C.  Aparatur Pemerintah Daerah
 Per Januari 2006, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten sebanyak 2.714 orang, dengan komposisi menurut golongan ruang terdiri dari golongan IV sebesar 9,25%, golongan III (58,84%), golongan II (31,54%) serta golongan I (0,37%)1). Pola penempatan pegawai teroientasi di lingkungan Dinas-Dinas (51,69%), kemudian di lingkungan Sekretariat Daerah 22,22%, di lingkungan Badan-Badan 16,65%, dan sisanya di lingkungan Sekretariat DPRD, Kantor-Kantor dan UPT. Berdasarkan selisih antara jumlah PNS menurut golongan ruang dengan jumlah jabatan struktural, maka keberadaan PNS yang berfungsi sebagai pelaksana di lingkungan Dinas-Dinas rata-rata mencapai 86 orang, di lingkungan Sekretariat DPRD 58 orang, di lingkungan Sekretariat Daerah dan Badan-Badan 39 orang, sedangkan di lingkungan Kantor-Kantor hanya 19 orang. Jumlah PNS pelaksana tersebut bila diperbandingkan dengan jumlah jabatan Eselon IV yang tersedia sudah mencapai 4-5 orang/eselon IV di lingkungan Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas-Dinas dan Kantor-Kantor, sementara di lingkungan Badan-Badan baru mencapai 2 orang/eselon IV.
Per Januari 2006, dari 754 jabatan struktural yang tersedia, hanya terisi sebesar 705 jabatan (93,5%), sehingga jabatan yang lowong mencapai 49 jabatan (6,50%). Kekosongan jabatan terjadi pada tingkatan eselon IV dan III dengan porsi masing-masing 69,39% dan 30,61%. Berdasarkan pengelompokan perangkat daerah, dari jumlah jabatan yang lowong sebagian besar terdistribusi di lingkungan Dinas-Dinas (65,30%), Badan-badan (16,33%) dan Sekretariat Daerah (14,28%). Bila diperbandingkan jumlah pegawai menurut golongan ruang III B-D (tidak termasuk golongan II) dengan jumlah jabatan struktural (tingkat eselon III dan IV) yang tersedia sebenarnya masih memadai, sehingga terjadinya kekosongan jabatan struktural diperkirakan disebabkan karena faktor pengalaman dan keahlian (tingkat pendidikan) yang masih belum terpenuhi oleh sebagian besar pegawai.

Komposisi pegawai menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan per Januari 2006 menunjukkan kondisi 906 PNS (33,38% dari jumlah seluruh PNS) memiliki tingkat pendidikan non kesarjanaan (tamatan SD hingga D.II). Pada dasarnya tingkat kesiapan individu dengan tingkat pendidikan non kesarjanaan masih kurang memadai terhadap kebutuhan penyelenggaraan tugas dan fungsi kedinasan, khususnya di luar urusan administrasi dan ketatausahaan. Permasalahan yang dihadapi adalah, bahwa sebagian PNS merupakan pegawai-pegawai baru (seiring dengan usia Provinsi Banten yang baru menginjak 7 tahun) yang diantaranya belum mengenyam pendidikan dan pelatihan manajemen dan fungsional. Disamping itu, 56,29% dari PNS dengan tingkat pendidikan non kesarjanaan sebagian besar terdistribusi di lingkungan Dinas-Dinas yang merupakan perangkat daerah terdepan dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik. Oleh karena itu, pengelolaan, cakupan dan sasaran penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi PNS perlu dioptimalkan.
 
D.  Keuangan Daerah
Secara keseluruhan, realisasi pendapatan daerah Provinsi Banten dalam kurun waktu 2002-2005 semakin menunjukkan penguatan kapasitas, dimana realisasi sebesar Rp. 915,65 Milyar pada tahun 2002 telah berhasil ditingkatkan menjadi Rp. 1.784,94 Milyar hingga tahun 2006. Penguatan kapasitas tersebut ditandai dengan rata-rata pencapaian target 104,73% per tahun serta dengan rata-rata laju pertumbuhan 16,23% per tahun. Berdasarkan Perda No. 2 Tahun 2006, target pendapatan daerah pada tahun 2006 adalah sebesar Rp. 1.784,94 Milyar, dengan demikian laju pertumbuhan yang diharapkan terhadap realisasi 2005 adalah 11,67%2).
Penguatan kapasitas pendapatan daerah terutama ditopang oleh peningkatan kinerja dan peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam struktur pendapatan daerah, dimana dari Rp. 439,38 Milyar atau 47,99% terhadap total pendapatan daerah (2002) telah dapat ditingkatkan menjadi Rp. 1.070,23 Milyar atau 66,59% (2005), atau dengan laju pertumbuhan rata-rata 34,63% per tahun. Di samping itu, Dana Perimbangan juga masih memberikan peran besar terhadap struktur pendapatan daerah, meskipun dari tahun ke tahun nilainya mengalami peningkatan dengan kecenderungan stagnan (laju rata-rata 8,80% per tahun)2).
 
Secara keseluruhan, PAD masih berpeluang untuk ditingkatkan, dengan menindaklanjuti berbagai peluang atau kendala yang belum dapat diupayakan selama periode 2002-2005, antara lain: penerapan Pajak Kendaraan di Atas Air (PKAA) dan Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air (BBNKAA), belum optimalnya kinerja dan peran pos Retribusi Daerah (rata-rata kontribusi per tahun baru mencapai 0,29%) terhadap PAD maupun pendapatan daerah, serta masih lambannya upaya ekstensifikasi pendapatan daerah melalui pembentukan badan usaha milik daerah. Sementara itu, kinerja Dana Perimbangan dihadapkan pada kecendrungan penurunan kinerja penerimaan daerah dari pos Bagi Hasil Pajak/BukanPajak.

Pada sisi belanja daerah selama kurun waktu 2002-2006 menunjukkan perkembangan kapasitas pembiayaan pembangunan yang semakin memadai, dimana jumlah dan proporsi belanja pembangunan (belanja publik) dalam struktur belanja daerah mengalami peningkatan. Alokasi belanja daerah yang terealisasi sebesar Rp. 955 Milyar (2002) telah dapat ditingkatkan menjadi Rp. 1.091,81 Milyar pada tahun 2004, selanjutnya pada tahun 2005 dan 2006 ditargetkan masing-masing sebesar Rp. 1.618,99 Milyar dan Rp. 2.043,52 Milyar3). Berdasarkan realisasi belanja daerah 2002-2004 serta target tahun 2005-2006, rata-rata proporsi alokasi belanja pembangunan (terdiri dari belanja publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, serta belanja tak disangka) adalah sebesar 68,96% per tahun, dimana proporsi alokasi pada tahun 2006 ditargetkan sebesar 79,59% atau Rp. 1.626,43 Milyar3). Sedangkan permasalahan pokok dalam penerapan belanja daerah selama kurun waktu 2002-2005 adalah belum efisiennya prioritas alokasi belanja daerah secara proporsional, serta masih terbatasnya kemampuan pengelolaannya termasuk dalam melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta profesionalisme.
 
E.  Perencanaan Daerah

1. Perencanaan Pembangunan
Selama periode 2002-2004, pengimplementasian perencanaan pembangunan daerah diawali dengan diterbitkannya Perda No. 2 Tahun 2002 Tentang Rencana Strategis Daerah (Renstrada) Provinsi Banten 2002-2006, sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan lima tahunan, yang ditindaklanjuti oleh tersusunnya seluruh Renstra Sekretariat/Badan/Dinas/Kantor. Sedangkan dalam upaya meletakkan landasan pembangunan jangka panjang (20 tahun) diterbitkan pula Perda No. 11 Tahun 2003 tentang Pola Dasar Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Banten 2002-2022.

Secara tahunan, upaya untuk mewujudkan perencanaan pembangunan partisipatif ditunjukkan dengan tersusunnya Repetada selama periode 2002-2004, kemudian menginjak tahun 2005-2006 diwujudkan melalui RKPD dan Renja SKPD Provinsi Banten. Rapat koordinasi teknis antar Bapeda Provinsi Banten dengan Bappeda Kabupaten/Kota se Provinsi Banten juga dapat diselenggarakan secara rutin pada setiap tahunnya. Setiap tahun, selama kurun waktu 2002-2004 diselenggarakan Jaring Asmara, dan menginjak tahun 2005-2006 diwujudkan melalui Musrenbang Provinsi Banten.

Perubahan paradigma dan pola perencanaan pembangunan seiring dengan diterbitkannya UU 17 Tahun 2003, UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004 telah ditindaklanjuti melalui penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah (SPPD) Provinsi Banten pada tahun 2005, yang disertai tersusunnya Petunjuk Teknis Tata Cara Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD dan Penyelenggaraan Musrenbang Provinsi Banten serta Format Daftar Rencana Program dan Kegiatan (DRPK). Dalam rangka meningkatkan kemampuan aparatur dalam bidang perencanaan pembangunan, telah diselenggarakan pendidikan dan pelatihan penyusunan Renstra-SKPD dan Renja-SKPD Provinsi Banten

2. Rencana Tata Ruang Wilayah
Dalam rangka mengarahkan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah maka diterbitkan Perda No. 36 Tahun 2002 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten 2002-2017. Kemudian dalam Perkembangannya, perubahan rencana pemanfaatan ruang di Provinsi Banten perlu menyelaraskan antara lain dengan rencana penetapan RTRW Pulau Jawa dan revisi UU No. 24 Tahun 1992, rencana penataan ruang kawasan Megapolitan Jabodetabekjur, pembangunan Pelabuhan Bojonegara sebagai Internasional Hub Port, rencana Kawasan Bojonegara dan lingkar pantai utara yang dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), rencana pembangunan 3 (tiga) PLTU batubara (pengembangan PLTU Suralaya, PLTU Teluk Naga dan PLTU Labuan), rencana pembangunan pabrik semen PT. Boral di Bayah, pembangunan permukiman skala besar yang tersebar di Kabupaten Tangerang dan Lebak, perubahan status jalan provinsi menjadi jalan nasional, rencana pembangunan jalan tol Cilegon-Bojonegara dan Bintaro-Cikupa, rencana pembangunan jalan lingkar di wilayah Kabupaten Tangerang, yaitu jalan lingkar utara Teluknaga-Mauk-Kronjo- Serang dan jalan lingkar selatan Ciputat-Cisauk-Cisoka-Tigaraksa-Balaraja-Kresek, rencana perluasan Bandara Soekarno-Hatta menjadi 2500 Ha, rencana pembangunan Pelabuhan Cituis, rencana pemekaran wilayah Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang (pembentukan Kota Serang, Kota Ciputat dan Kota Serpong, dll), pembangunan Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Baten (KP3B), rencana pembangunan Pelabuhan Penyeberangan Margagiri di Kabupaten Serang, perubahan fungsi pemanfaatan ruang di pantai utara Kabupaten Tangerang, rencana pembangunan jaringan KA Cilegon Timur-Bojonegara, rencana pengembangan TPA Bojong Menteng, peningkatan luasan kawasan lindung Taman Nasional Gunung Halimun, pengembangan kawasan wisata di wilayah Banten Selatan dan pantai utara (Pulau Cangkir, dll), pembangunan pipa gas Jawa-Sumatera, dan lainnya yang mendorong Pemerintah Kabupaten/Kota (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon) dan Pemerintah Provinsi untuk melakukan peninjauan kembali terhadap RTRW yang ada.

Untuk menyelaraskan dan mensinergikan penataan ruang daerah melalui pemanfaatan ruang secara optimal, serasi, dan berkesinambungan, telah dibentuk wadah koordinasi secara terpadu dalam melaksanakan penataan ruang di Provinsi Banten sebagaimana mempedomani Kepmendagri 147 Tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah, telah dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi Banten yang ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Nomor : 650/Kep.157-Huk/2005, dengan tugas pokok untuk merumuskan, mengkoordinasikan, mengintegrasikan dan menyelaraskan, serta melaksanakan supervisi, merekomendasikan dan kegiatan pengawasan terhadap penyelenggaraan penataan ruang di daerah. Dalam pelaksanaannya, peran BKPRD dirasakan masih belum memberikan dampak secara siginfikan dalam pengendalian perubahan pemanfaatan ruang yang berkembang secara pesat sebagaimana telah ditetapkan dalam RTRWP, yang hal ini disebabkan tidak diacunya RTRWP sebagai arahan kebijakan spasial bagi rencana sektoral maupun daerah. Mekanisme dalam penertiban izin terhadap rencana usaha/kegiatan pembangunan yang berdampak besar dan penting, menimbulkan konflik dalam pemanfaatan ruang, bahkan berpengaruh terhadap kebijakan tata ruang provinsi belum dikoordinasikan dengan BKPRD.

Jakarta sebagai Ibukota Negara merupakan pusat konsentrasi kegiatan perekonomian baik produksi maupun jasa akan berpengaruh terhadap aliran migrasi yang tinggi, kemacetan dan kepadatan yang tinggi dalam penggunaan jasa publik. Daya dukung dan daya tampung wilayah Jakarta sudah tidak mampu lagi untuk menopang pembangunan berkelanjutan dengan adanya fenomena tingginya tingkat kerusakan, pencemaran, degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta sosial. Disamping itu letak geografis Jakarta yang berada di hilir membawa permasalahan yang cukup kompleks terkait penanganan masalah transportasi, urbanisasi, banjir dan sampah yang berdampak pada ketertiban kenyamanan dan ketentraman ibukota negara, sehingga pada akhirnya perlu membentuk suatu hubungan fungsional yang terpadu dalam satu kesatuan sistem dengan daerah sekitarnya DKI Jakarta yang memberikan kontribusi secara signifikan perkembangan DKI Jakarta. Keterpaduan dalam penataan ruang antara kawasan hulu (Botabekjur) dengan kawasan hilir (DKI Jakarta) terutama dalam pengendalian banjir, pemenuhan air baku dan pengelolaan sampah, penyediaan infrastruktur transportasi massal yang efisien, penciptaan dan penyediaan lapangan kerja, penyediaan lahan untuk pembangunan pemukiman dan industri. Proses regionalisasi yang memerlukan keterkaitan dan kerjasama antar daerah otonom yang bertetangga di wilayah Jabodetabekjur, mendorong Pemerintah DKI Jakarta melakukan revisi UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Dalam draft rancangan revisi UU No. 34 Tahun 1999 yang telah disampaikan kepada DPR RI telah mencantumkan konsep pengaturan tata ruang kawasan ‘megapolitan’ yang meliputi wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi dan Kabupaten Cianjur (Jabodetabekjur).

Sejalan dengan revisi UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Negara Jakarta, Pemerintah Provinsi Banten dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus dapat menetapkan secara tegas batas daerah dengan mempedomani UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terutama untuk menyelesaikan terhadap batas wilayah laut Kepulauan Seribu.

Sebagai tindaklanjut UU No. 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten, dimana ibukota Provinsi Banten telah ditetapkan di Kabupaten Serang, hal ini memberikan peluang bagi pembentukan Kota Serang sebagai   ibukota Provinsi Banten yang merupakan pemekaran wilayah dari Kabupaten Serang. Dengan kedudukan Kota Serang yang sangat strategis sebagai pusat pemerintahan telah mendorong pada peningkatan pemanfaatan fungsi ruang yang ada, yang menuntut adanya penyusunan dan penetapan tata ruang (RTRW) Kota Serang sebagai ibukota Provinsi Banten, yang diprediksi akan mengalami perkembangan pada masa yang akan datang sebagai dampak dari pertambahan penduduk, aktivitas pembangunan dan peningkatan investasi.

Untuk mengoperasionalkan RTRW Nasional kedalam rencana pemanfaatan ruang Pulau Jawa-Bali, sebagaimana yang ditetapkan pada pasal 65 Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 perlu ditetapkan pengaturan lebih lanjut mengenai struktur dan pola pemanfaatan ruang nasional di Pulau Jawa-Bali. Untuk mewujudkan hal itu, sebagai kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang agar dapat menjamin keterpaduan wilayah dan lintas sektor, Pemerintah saat ini sedang menyusun RTR Pulau Jawa-Bali sebagai landasan hukum perencanaan pemanfaatan ruang yang mengikat bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya. RTR Pulau Jawa-Bali diharapkan dapat meningkatkan kesatuan pengembangan kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan pengembangan prasarana wilayah dalam satu ekosistem pulau dan perairannya dengan memperhatikan daya dukung lingkungan wilayah, sehingga dapat mendorong terlaksannya pembangunan lintas sektor dan lintas provinsi secara lebih efektif dan efisien serta konsisten dengan kebijakan nasional. RTR Pulau Jawa-Bali diharapkan dapat berperan sebagai alat untuk mensinergikan aspek-aspek yang menjadi kepentingan nasional sebagaimana direncakan dalam RTRWN dengan aspek-aspek yang menjadi kepentingan daerah sebagaimana direncanakan dalam RTRW Provinsi dan RTRW Kab/Kota.
 
F.  Otonomi Daerah
Selama periode 2002-2004 berbagai tuntutan terhadap pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah) berkembang di lingkungan masyarakat. Pembentukan Kota Serang yang telah memenuhi kaidah peraturan perundangan maupun teknis hingga tahun 2006 belum dapat direalisasikan. Disamping itu, tuntutan pembentukan Kabupaten Tangerang Selatan (pemekaran dari Kabupaten Tangerang) , pembentukan Kabupaten Cilangkahan (pemekaran dari Kabupaten Lebak) dan pembentukan Kabupaten Caringin (pemekaran dari Kabupaten Pandeglang) serta wacana untuk merebut kembali Kepulauan Seribu (dari DKI Jakarta) merupakan aspirasi dan harapan yang perlu direspon untuk dinilai terhadap ketepatan dan kelayakannya secara normatif maupun teknis. Sehingga proses pembentukan daerah otonom baru tidak sekedar mempertimbangkan aspek politis dan kemauan sebagian kecil elite daerah. 

G.  Kerjasama Pembangunan
1.  Kerjasama Wilayah Perbatasan
Sesuai dengan amanat dalam Pasal 195 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada efisiensi dan efektifitas pelayanan publik.

Belum terintegrasinya rencana-rencana pembangunan, keterbatasan dan lemahnya kapasitas pengelolaan sumber daya di kawasan perbatasan, seperti diantaranya dalam penataan ruang dan pembangunan prasarana wilayah serta perencanaan pembangunan lainnya, telah disadari sebagai suatu permasalahan yang dapat menyebabkan terjadinya ketidakserasian dan ketimpangan pembangunan di wilayah perbatasan.

Oleh karenanya kerjasama pembangunan antar daerah yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas dalam pelayanan publik yang saling menguntungkan, merupakan hal yang perlu mendapatkan perhatian bersama.

Sejalan dengan kepentingan tersebut, Pemerintah Provinsi Banten telah melaksanakan kesepakatan dengan Pemerintah Provinsi lain yang berbatasan dalam rangka kerjasama pembangunan di wilayah perbatasan seperti dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagaimana hal ini telah ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten Nomor 69 Tahun 2002 dan Nomor 35 Tahun 2002 tanggal 4 Desember 2002, tentang Kerjasama Pembangunan Wilayah Perbatasan, serta dengan Pemerintah Provinsi Lampung sebagaimana hal ini telah ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama Gubernur Banten dan Gubernur Lampung Nomor 34 Tahun 2002 dan Nomor 38 Tahun 2002 tanggal 13 Desember 2002, tentang Kesepakatan Kerjasama Pembangunan Wilayah Perbatasan antara Pemerintah Provinsi Banten dengan Pemerintah Provinsi Lampung.

Sebagai implementasi tindak lanjut kerjasama pembangunan perbatasan yang telah disepakati bersama, diselenggarakan forum koordinasi kerjasama pembangunan antar kedua daerah yang dilaksanakan melalui ”Musyawarah Perencanaan Pembangunan Perbatasan (MUSRENBANGTAS) Banten-Jawa Barat” maupun “Rapat Koordinasi Kerjasama Pembangunan Wilayah Perbatasan (RAKORTAS) Banten-Lampung” yang diselenggarakan secara periodik setiap dua tahun sekali.

Keberadaan forum tersebut dimaksudkan untuk memperkuat koordinasi antar Pemerintah Daerah dalam mengatasi persoalan ketidakintegrasian dalam berbagai kepentingan pembangunan dan pemerintahan antara kedua daerah, agar rencana-rencana pembangunan yang akan dilaksanakan antar daerah khususnya di wilayah perbatasan dapat terselenggara dengan sinergi dan terintegrasi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan.

2.     Kerjasama Antar Daerah
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan dan mengelolah pembangunan di daerah berdasarkan kondisi dan kebutuhannya masing-masing. Namun demikian dalam pelaksanaan dan pengelolaan pembangunan di daerah seringkali dihadapkan kepada permasalahan yang tidak dapat diatasi sendiri, tetapi memerlukan kerjasama antar daerah yang memiliki kepentingan bersama.

Sejalan dengan semangat yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, perlu disikapi secara komprehensif dan langkah strategis untuk melakukan kerjasama antar daerah yang sinergis dengan perencanaan pembangunan guna mewujudkan keselarasan, keserasian dan keterpaduan perencanaan pembangunan antar wilayah dan antar sektor.

Sementara itu, di lain pihak bahwa tekanan pertumbuhan penduduk dan perekonomian yang terkonsentrasi di Ibukota negara Jakarta dan wilayah sekitarnya dalam wilayah Jabotabek maupun secara umum pada wilayah Pulau Jawa dan Bali telah menyebabkan tingginya tuntutan dalam peningkatan pelayanan dan pembangunan yang dirasakan semakin kompleks. Sehingga dapat dipahami apabila di wilayah Jabotabek serta wilayah Jawa-Bali perlu mendapatkan perhatian secara lebih intensif untuk melakukan koordinasi dalam rangka penanganan bersama terhadap permasalahan pembangunan dan persoalan lainnya yang bersifat lintas wilayah dan lintas sektor.

Dalam rangka mengkoordinasikan kegiatan pembangunan sesuai Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah Jabotabek telah dilakukan kerjasama wilayah Jabotabek yang telah ditetapkan dengan Peraturan Bersama Pemerintah Provinsi Daerah tingkat I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor 1/DP/040/PD/1976 dan Nomor 3 Tahun 1976 tentang Kerjasama Dalam Rangka Pembangunan Jabotabek yang selanjutnya dibentuk Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek berdasarkan Keputusan Bersama Pemerintah Provinsi Daerah tingkat I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor D.IV-8201/d/II/1976 dan Nomor 197/Pem.121/sk/1976.

Kerjasama tersebut telah ditindaklanjuti dan ditingkatkan dengan terbentuknya Kota Depok, Provinsi Banten dan keikutsertaan Kabupaten Cianjur yang diwujudkan dalam Kesepakatan Bersama Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok, Bupati tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi dan Bupati Cianjur tanggal 16 Juni 2005.

Memperhatikan kompleksitas permasalahan pembangunan regional yang terjadi saat ini di wilayah Jawa-Bali dan sejalan dengan makna yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005, maka merupakan langkah yang sangat strategis diselengarakannya forum “Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional (MUSRENBANGREG) Se Jawa-Bali”, yang hal ini merupakan kesepakatan bersama yang telah direkomendasikan agar keberadaannya semakin dapat diperkokoh dan dikembangkan eksistensinya dalam rangka mendukung perencanaan pembangunan nasional.

Dilatarbelakangi berbagi pengalaman memecahkan permasalahan antar daerah secara legal formal, membangun silaturahmi dan membangun satu persepsi dan pemahaman, pada tahun 1988, Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat mempelopori terbentuknya forum kerjasama antar daerah Dwi Praja sebagai cikal bakal forum Mitra Praja Utama (MPU) yang sekarang anggotanya terdiri dari 10 Provinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DI. Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, Provinsi Lampung, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Banten dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Prinsip kerjasama dalam forum MPU dibangun dalam semangat kebersamaan, kemitraan, saling menguntungkan, berbagi tanggungjawab dan berkelanjutan dalam upaya berpadu daya mengatasi permasalahan kesejahteraan antar daerah secara bersama-sama.

Dalam setiap tahunnya diadakan Rapat Kerja Gubernur yang menyepakati usulan program/kegiatan kerjasama untuk dilaksanakan pada tahun berikutnya, terdiri dari bidang Pemerintahan, bidang Ekonomi, bidang Kesos dan Tenaga Kerja, serta bidang Lingkungan dan Pariwisata.
 
H.  Hukum, Politik serta Ketenteraman dan Ketertiban Umum
Dalam rangka memberikan landasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, selama periode 2002-2005 telah dihasilkan 93 peraturan daerah (perda). Seiring dengan era pembentukan sistem pemerintahan Provinsi Banten, sekitar 43,48% perda-perda yang diterbitkan mengatur tentang kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah daerah, dan 42,47% mengatur tentang keuangan daerah. Keberadaan perda-perda yang terkait dengan bidang-bidang pembangunan masih terbatas, dimana baru sekitar 8,22% mengatur tentang sumber daya alam dan lingkungan hidup, 2,74% mengatur tentang perencanaan pembangunan serta 2,74% sisanya mengatur tentang pengelolaan zakat serta pemberian penghargaan kepada seseorang dan atau badan yang berjasa dalam pembangunan atau kesejahteraan daerah.

Keterbukaan dalam wadah partisipasi politik rakyat yang ditandai dengan berlakunya sistim multi partai telah ditunjukkan pada Pemilu tahun 2004 yang diikuti oleh 24 partai politik, hasilnya 13 partai politik telah memperoleh kursi di DPRD Provinsi Banten periode 2004-2009 yaitu Partai Golkar memperoleh 15 kursi, PKS 11 kursi, PDIP 10 kursi, PPP dan Partai Demokrat 8 kursi, PKB dan PBR 5 kursi, PAN 4 kursi, PBB 3 kursi, PDS 2 kursi, serta PNUI, PSI dan PKPB masing-masing 1 kursi, dan secara umum berlangsung aman dan tertib. Antusias masyarakat berpolitik juga cukup baik, dimana Pemilu 2004 diikuti oleh 6.207.919 pemilih4). Keterbukaan dan keterakomodasian hak-hak rakyat dalam berpolitik yang semakin membaik ini juga ditunjukkan dengan penyelenggaraan Pilkada di Kota Cilegon (2005), Kabupaten Pandeglang (2005) dan Kabupaten Serang (2006) yang secara umum juga berlangsung secara aman dan tertib.

Disamping itu munculnya berbagai bentuk asosiasi masyarakat sipil baik dalam bentuk organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat maupun forum-forum lainnya, merupakan bentuk pencapaian dalam mewujudkan proses demokratisasi. Hingga tahun 2005 jumlah organisasi kemasyarakatan telah berkembang menjadi 97 ormas, yang terdiri dari 21 lembaga profesi, 26 lembaga keagamaan dan 50 lembaga swadaya masyarakat.

Munculnya berbagai aspirasi dan respon masyarakat terhadap kebijakan pembangunan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, baik yang bersifat mendukung ataupun memberikan kritik membangun, disampaikan langsung ataupun melalui lembaga perwakilan (legislatif), merupakan cerminan terjadinya peningkatan kesadaran masyarakat akan politik dan nilai-nilai demokrasi. Penyampaian aspirasi masyarakat selama tahun 2004 sebanyak 20 kali sedangkan pada tahun 2003 jumlahnya sebanyak 49 kali dan seluruhnya dapat ditanggulangi dengan tertib serta mengedepankan pendekatan persuasif sehingga tidak menimbulkan gangguan keamanan yang berarti.

Berbagai kerentanan dan kerawanan sosial merupakan sumber-sumber permasalahan masyarakat yang masih dihadapi yang dapat berdampak pada terjadinya gangguan ketenteraman dan ketertiban umum. Banyaknya keluarga penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) hingga tahun 2005 sebesar 705.400 keluarga, yang didominasi oleh keluarga fakir miskin berjumlah 387.292 keluarga (54,90%), keluarga yang menempati tempat tinggal yang tidak layak huni sebanyak 230.457 keluarga (32,67%), Keluarga yang rentan sosial ekonomi berjumlah 78.299 keluarga (11,10%), dan keluarga yang bermasalah sosial psikologis berjumlah 9.352 keluarga (1,33%)5). Keberadaan PMKS tersebut merupakan potensi terhadap bertumbuhkembangnya ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku masyarakat.

Kasus gelandangan dan pengemis serta pekerja seks komersial (PSK) semakin merebak terutama pada kota-kota, pelabuhan, terminal serta daerah pantai dan wisata merupakan salah satu potensi permasalahan yang dapat menganggu ketentraman dan ketertiban umum di wilayah Provinsi Banten. Berbagai upaya pencegahan terhadap berkembangnya PSK seperti yang dilakukan oleh Kota Tangerang melalui penerbitan Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran masih menyisakan permasalahan yang antara lain adanya indikasi exodus PSK ke ke wilayah Pantura, yang menyebabkan langkah serupa tengah dipersiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang.

Demikian halnya dengan penyalahgunaan NARKOBA/NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) yang semakin berkembang dikalangan remaja, bahkan telah memasuki kawasan-kawasan pendidikan (sekolah). Sebagaimana diketahui pada akhir-akhir ini penggerebekan produsen-produsen NARKOBA kelas internasional di Kabupaten Serang menunjukkan bahwa Banten merupakan sasaran utama pusat-pusat produksi dilakukan oleh sindikat-sindikat jaringan NARKOBA.  

Kejadian luar biasa (KLB) merupakan suatu kondisi tak terduga yang dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum. Frekuensi bencana banjir dan kekeringan sampai dengan tahun 2003 diketahui sebanyak 9 kali yang melanda 31 kecamatan, sedangkan bencana kekeringan terjadi di 7 kecamatan. Sedangkan berbagai kasus wabah penyakit yang terjadi di wilayah Provinsi Banten akhir-akhir ini meliputi: Muntaber, DBD, Polio, Gizi Buruk dan Flu Burung. Kasus flu burung merupakan wabah penyakit yang melanda wilayah nasional yang penangannya belum tuntas hingga saat ini.

Sementara itu, berbagai kerusuhan sosial yang terjadi di wilayah Provinsi Banten akhir-akhir ini antara lain bersifat konflik antar masyarakat dan konflik antar agama. Konflik antar masyarakat antara lain terjadi di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Sedangkan konflik antar agama berdasarkan informasi Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten/Kota terjadi di Kabupaten dan Kota Tangerang.

No comments:

Post a Comment